Buntut Polemik OTT BASARNAS, MAKI Bakal Laporkan KPK ke Dewan Pengawas (DEWAS).

Buntut Polemik OTT BASARNAS, MAKI Bakal Laporkan KPK ke Dewan Pengawas (DEWAS).

Smallest Font
Largest Font

Mahatvamediaindonesia.id, JAKARTA – Operasi tangkap tangan (OTT) KPK di tubuh Basarnas berakhir menjadi polemik. Bahkan pernyataan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang menyalahkan penyelidik juga disorot publik. Senin, (31/07/2023).

Atas polemik tersebut, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) hendak melaporkan para pimpinan KPK ke Dewan Pengawas (Dewas). MAKI meminta Dewas untuk memberhentikan para pimpinan karena diduga melanggar pelanggaran etik berat.

“Tapi kalau nggak mau mengundurkan diri ya kemudian memang harus dimundurkan, siapa yang memundurkan? Ya dewan pengawas, maka saya berencana Minggu depan ke dewas atas dugaan pelanggaran etik berat karena menyangkut pelanggaran HAM orang, karena menurut saya penetapan tersangka tidak sah,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman saat dihubungi wartawan, Minggu (30/7/2023).

“Itu saya akan lapor Dewas, belepotannya pimpinan KPK selama ngurusin Basarnas ini. Dan saya minta nanti dinyatakan dugaan pelanggaran berat,” tambahnya.

Menurut Boyamin, Firli Bahuri dan pimpinan lainnya layak mengundurkan diri karena dinilai tidak becus mengurus kasus suap di Basarnas itu.

“Hukumnya wajib mundur itu, bukan hanya layak, karena apapun sudah kesalahannya jungkir balik menurutku. Pertama diumumkan oleh Pak Marwata padahal tidak berwenang, karena apalagi diakui belum ada sprindik, kok diumumkan tersangka itu kan sudah salah besar,” katanya.

“Terus kedua tentang Johanis Tanak kemudian minta maaf, itu benar minta maafnya, tapi kebablasan terkait menyalahkan anak buah. Terus ketiga setelah ramai-ramai gitu Pak Firli ngomong bahwa itu tanggung jawab pimpinan, ya kenapa sejak awal tidak pimpinan? Padahal pimpinan ini kan kolektif kolegial, jadi kesalahan Pak Marwat kemudian Pak Tanak itu juga kesalahan kolektif,” tambahnya.

Selanjutnya, Boyamin menyarankan KPK untuk melakukan supervisi kasus ini ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Menurutnya Kejagung lebih bisa diandalkan dalam menangani kasus di tubuh TNI.

“Kalau tidak mampu ya serahkan ke Kejaksaan Agung, karena di UU pemberantasan korupsi nomor 31 tahun 1999 Pasal 39 tentang koneksitas dikendalikan oleh Jaksa Agung, ya udah serahkan saja ke Kejaksaan Agung untuk menjadikan proses ini benar,” katanya.

“Dan itu nyatanya Kejagung sekarang ada Jaksa Agung Muda Pidana Militer. Dan selama ini sudah berprestasi berhasil ngurus kasus korupsi bersama militer dua perkara, tunjangan wajib rumahan kerugiannya Rp 200-400 miliar, kedua satelit Kemhan,” sambungnya

Dalam OTT di Basarnas, ada lima orang yang ditetapkan tersangka oleh KPK. Kelima tersangka itu terdiri atas tiga pihak swasta selaku pemberi suap dan dua oknum TNI masing-masing Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto selaku penerima suap.

Pengumuman tersangka kepada dua anggota TNI itu direspons pihak Puspom TNI. Mereka keberatan atas langkah yang dilakukan KPK.

Danpuspom TNI Marsda TNI Agung Handoko mengatakan penetapan tersangka KPK dalam hal ini keliru. Sebab, lanjut dia, penetapan tersangka hanya bisa dilakukan oleh Puspom TNI karena statusnya masih perwira aktif.

“Penyidik itu kalau polisi, nggak semua polisi bisa, hanya penyidik polisi. KPK juga begitu, nggak semua pegawai KPK bisa, hanya penyidik, di militer juga begitu. Mas, sama. Nah, untuk militer, yang bisa menetapkan tersangka itu ya penyidiknya militer, dalam hal ini Polisi Militer,” jelasnya saat dihubungi, Jumat (28/7).

Editors Team
Daisy Floren