Kedatangan rombongan Bung Karno ke Cileungsi Pada 5 Februari 1945 Menjadi Catatan Sejarah

Kedatangan rombongan Bung Karno ke Cileungsi Pada 5 Februari 1945 Menjadi Catatan Sejarah

Smallest Font
Largest Font

Mahatvamediaindonesia.id, Bogor – Terdapat catatan sejarah yang menjadi bukti perjuangan para pendekar atau jawara, ada di Desa Cicadas, Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Hal itu mengembalikan ingatan kolektif masyarakat pada kejadian di Cileungsi tentang rapat konsolidasi yang dipimpin oleh Ir. Soekarno serta di dampingi oleh Karto Suwiryo, tokoh PNI Soewiryo, Pak Letnan Loekas, dan Sersan Oking yang saat itu ikut dihadiri oleh sejumlah tokoh ‘alim ulama, tentara pejuang, pendekar silat dan tokoh masyarakat di kediaman pak Raden Hamzah yang diselenggarakan pada hari Rabu malam tanggal 5 Februari 1945.

Kedatangan rombongan Bung Karno ke Cileungsi saat itu disambut oleh KH. Raden Abdul Kholik bin Abuya Pangeran Andeng Asari Soeriya Dinata dan Raden Hamzah.

Tokoh-tokoh yang hadir saat itu diantaranya :

1. Abuya R. H. Andeng Asari Soeriya Dinata
2. Kiyai Tubagus Muhammad Falak Bogor
3. Kiyai Tubagus Khotib Serang Banten
4. Kiyai R. Muhammad Nawawi Cibarusah
5. Kiyai R. Hasbullah Cimande
6. Kiyai R. Ama Teungku Karawang
7. Kiyai R. Ama Jenggot Karawang
8. Pak Nawawi Soeryadi Karawang
9. Pak Djali Tanjung Priuk
10. Pak Nur Aly Bekasi
11. Pak Darip Klender
12. Pak Hoeru Bandung
13. Pak Sambas Bandung
14. Pak Soleh Iskandar Bogor Leuwiliang
15. Pak Bongkot/Ujang Sawangan Pendekar
16. Pak Hideung Gunung Sindur
17. Pak Sanusi Serang Banten
18. Pak Jumir Sawangan-Parung
19. Kiyai Tubagus Hasbullah Banten
20. Pak Sobari Cikampek Pendekar
21. Pak Raden Rusdi Subang Pendekar

Arsip Salah Seorang Warga Citereup

Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Pasca kemerdekaan suasana Republik Indonesia semakin memanas dengan kembalinya tentara penjajah bersamaan dengan sekutunya, belom lagi di tambah bangkitnya penghianat bangsa yang masih setia kepada pasukan kolonial yang aktif bergerak demi mendapatkan jabatan dan kekuasaan, sedangkan Indonesia yang baru saja lahir belum memiliki kekuatan dari segi pertahanan militer.

Sebab itulah kemudian membuat jago lokal yang patriot serta memiliki pasukan yang banyak dilirik guna membantu mempertahankan tiap-tiap wilayah. Contohnya antara lain Pak Macem, Haji Darip, Kiai Nurali, Camat Nata, Haji Djhole, dan Bang Pi-ie.

Lasykar Rakyat Jakarta Raya, misalnya, beraliansi dengan Pak Macem, Haji Darip, K.H. Nurali, dan Camat Nata yang terkenal berani dalam menghadapi penjajah. Sayang para jawara tersebut lebih terkenal dengan cap sebagai kaum kriminalitas sebagai perampok, pembunuh, pemerkosa, teroris dan cap cap negatif lainnya.

Lemah Abang yang masuk kedalam distrik Cibarusa, saat itu masuk wilayah Buitenzorg atau Bogor. Di kuasai oleh Pak Macem seorang Jawara asal kampung citarik ini di kenal oleh penjajah sebagai sosok sangat luar biasa. Memimpin pergerakan bersama para Jawara yang berpengalaman dari berbagai wilayah. Dengan bakat beladiri serta pengalaman tersebut kelompoknya sering membuat penjajah kewalahan dan lagi kelompoknya ini di anggap memiliki kekuatan supranatural yang tidak masuk akal seperti kebal, menghilangkan tubuh atau merubah diri menjadi bentuk lain.

Terlepas dari benar atau tidaknya hal hal mitos tersebut yang jelas berdasarkan fakta dan data, kelompok ini merupakan salah satu kelompok yang menjadi benteng kekuatan patriotisme rakyat Bekasi dalam mempertahankan Negara.

Sekitar bulan November 1945, Pak Macem yang biasa di juluki sebagai Bapak Macan pernah di undang oleh wakil presiden Muhammad Hatta menerus kan amanat presiden Sukarno tentang pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di saat situasi negara semakin kritis sebab gencarnya agresi militer tentara sekutu.

Untuk menghadapi hal tersebut itulah Bung Hatta berkoordinasi dengan para pemimpin perjuangan yang salah satunya adalah Pak Macem mewakili wilayah Cibarusah bersama Manaf Roni dan wahidin dari Cileungsi tiga orang ini mewakili daerah Bogor. Selain itu hadir pula H. Darip dan Pak Asa mewakili Klender, dari Jatinegara diwakili oleh Tohir Mangkudijaya dan Simbangan Tanjung Priok diwakili oleh Abdul Malik dan Abdul Rakhman. Bekasi diwakili oleh Muhayar. Tambun diwakili oleh Tabrani serta Menteng 31 diwakili oleh Amir Syarifuddin dan Hendromartono.

Sebagai generasi bangsa saat ini perlu kita ketahui bersama bahwa, TKR merupakan induk awal cikal bakal TNI, yang bertugas mengamankan Negara dari segala ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejak dibacakan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 Belanda bersama sekutu terus Bergerak mengganggu kemerdekaan Indonesia, karena tentara sekutu tidak mengakui kemerdekaan tersebut, sehingga mereka semakin liar melakukan tekanan dan teror terhadap Rakyat Indonesia.

Dari situlah kemudian Pak Macem di angkat sebagai kepala keamanan wilayah Cibarusah, titik markas nya berada di Lemah Abang. Tugasnya di Wilayah Cibarusah merupakan tugas yang sangat berat, berada di titik garis perbatasan inilah yang terus mati matian menahan agar tentara sekutu tidak menyebrang dan masuk ke wilayah lain untuk melancarkan aksinya. Sebelumnya Pada bulan September di tahun yang sama, semua badan perjuangan di Jakarta bersatu dalam sebuah organisasi baru bernama Laskar Rakyat Jakarta Raya, dengan Moh. Syafei terpilih sebagai panglima tertinggi, dan Rapar sebagai wakil panglima. Dan hampir bersamaan, di Karawang juga dibentuk Markas Tertinggi Tentara Rakyat Jawa Barat oleh 31 pemuda Menteng yang mengungsi ke luar kota. Duduk di Mabes TNI Jabar antara lain Nurdin Pasaribu, Sutan Akbar, Dokter Darwis, Hasan Gayo, dan Sidik Kertapati.

Sekarang garis perjuangan telah dikoordinasikan. TKR juga sudah diatur. Tapi Nica juga terus meningkatkan kekuatannya. Bertepatan dengan berdirinya TKR, pada tanggal 5 Oktober 1945 di Tanjung Priok, kapal Belanda telah merapat selama 7 bulan, diisi tentara dan korps marinir
Ada juga Haji Darip yang berbasis di Bekasi. Wilayah kekuasaannya mencakup Bekasi, Pulogadung, Klender, dan Jatinegara. Pemimpin Barisan Rakyat Indonesia itu, dengan patriotisme dan pasukan yang banyak selalu melakukan perlawanan. Muhammad Arif alias Haji Darip lahir sekitar tahun 1900. Ayahnya, Gempur, adalah penguasa lama Klender. Pada usia tujuh tahun Haji Darip bersekolah di Mekah.

Tiga tahun kemudian ia kembali ke Klender. Lalu, bekerja di jawatan kereta api dan menjadi jagoan. Ia terlibat dalam pemogokan kereta api pada tahun 1923. Lewat Barisan Rakyat Indonesia, jawara yang sempat menjadi pedagang itu menguasai lintasan kereta api di Jakarta Barat. Ia banyak berperan dalam Revolusi ’45.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, tokoh yang dihormati sebagai pemimpin agama dan dianggap sakti itu tampil sebagai penguasa Klender. Ia berpengaruh dan disegani para pemimpin Republik di Jakarta. Hubungan pribadinya dengan tokoh revolusi Surabaya, Moestopo, telah mengengkat pamornya.
Masih pada zaman revolusi, Iman Syafei yang akrab dipanggil Bang Pi-ie menguasai Senen.

Bos kelompok Oesaha Pemuda Indonesia itu kelak masuk militer dan berdinas di Divisi Siliwangi. Banyak yang percaya bahwa ia mampu mengalirkan massa ke jalanan di Jakarta untuk unjuk rasa politik. Dalam peristiwa 17 Oktober 1952, disinyalir dia berperan dalam menggerakkan demonstran yang menentang parlemen.

Bang Pi-ie merupakan salah satu pentolan preman yang mencapai kedudukan tertinggi di pemerintahan. Jagoan yang meninggal pada tahun 1982 itu menjadi Menteri Negara Urusan Keamanan Rakyat dalam Kabinet 100 Menteri yang dibentuk Bung Karno pada 21 Februari 1966.

Bos kelompok Oesaha Pemuda Indonesia itu kelak masuk militer dan berdinas di Divisi Siliwangi. Banyak yang percaya bahwa ia mampu mengalirkan massa ke jalanan di Jakarta untuk unjuk rasa politik. Dalam peristiwa 17 Oktober 1952, disinyalir dia berperan dalam menggerakkan demonstran yang menentang parlemen.

Bang Pi-ie merupakan salah satu pentolan preman yang mencapai kedudukan tertinggi di pemerintahan. Jagoan yang meninggal pada tahun 1982 itu menjadi Menteri Negara Urusan Keamanan Rakyat dalam Kabinet 100 Menteri yang dibentuk Bung Karno pada 21 Februari 1966.

Pada masa revolusi itu, Kiai Haji Nurali Tokoh kelompok Hizbullah “memegang” daerah berpaya-paya di utara Bekasi. Camat Nata dan Bantir di Bekasi. Pak Utom di Cianjur, Bubar di Karawang, Haji Akhmad Khaerun di Tangerang.
Perkembangan selanjutnya, beberapa jagoan itu mulai berorientasi pada kekuasaan formal. Bubar misalnya membenum diri sebagai Bupati Karawang dan menduduki kantor kabupaten.

Haji Masum di Cilincing dan Haji Eman di Telukpucung, mengambil alih posisi pemerintah setempat. Pak Macem menjadi Kepala Polisi Cibarusa. Jawara dari Bekasi menjadi mantri polisi, Nata menjadi camat.
Haji Akhmad Khaerun menobatkan diri sebagai “bapak rakyat”. Ia melangsungkan revolusi rakyat pada 18 Oktober ’45, dengan menghalau seluruh aparat pemerintah setempat.

Bupati Tangerang minggat ke Jakarta. Komite Nansional Indonesia Tangerang dibubarkan pada 21 Oktober ’45 dan Khaerun menggantikan lembaga itu dengan presidium beranggota empat orang. Orang Jepang, Cina dan Eropa ditangkapi. Kalau tak diusir, mereka dihabisi. Hubungan dengan Jakarta diputus. Tangerang dinyatakan sebagai daerah otonom.

Khaerun, veteran aksi Partai Komunis Indonesia tahun 1926 di Tangerang itu, ahli kebatinan. Pendukungnya–banyak yang haji–dipersenjatai dan mereka disebut lasykar ubel-ubel. Khaerun bersahabat dengan Syekh Abdullah, peranakan Arab pimpinan Barisan Berani Mati atau Lasykar Hitam.

Pentolan kakap lebih suka membentuk lembaga kekuasaan sendiri, tanpa mengusik kekuasaan resmi. Contohnya, Haji Darip di Bekasi.
Sayang keberadaan para jawara ini kurang di terima sebagian besar tokoh pergerakan nasional sehingga hubungan lasykar dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) makin buruk, kesan kriminalitas para jawara itu yang menjadi sebab mereka terimbas. Sebagian dari mereka tewas dan yang masih mujur hanya dilucuti. Sebab, dianggap membangkang terhadap kekuasaan resmi.

TNI terus berkonsolidasi dan lasykar-lasykar semakin tak mendapat tempat. Bahkan, akhirnya lenyap, baik karena melebur maupun karena diharamkan. Akan halnya preman, mereka tetap eksis sampai sekarang. Sebaliknya para Jawara pun menganggap para tokoh pergerakan nasional bertindak terlalu lunak kepada penjajah tapi justru seolah cenderung tegas terhadap kelompok mereka, hal tersebut menjadikan perselisihan yang rumit bahkan sampai terjadi adu kekuatan saling bertempur dan perebutan wilayah kekuasaan.

Hal lain perselisihan terkesan seperti sengaja di adu domba dengan melebih lebihkan berita tentang mereka. Di sisi lain juga ada sebab saling mempertahankan ideologi kebangsaan dari keinginan para pendiri bangsa yang berbeda beda hingga membuat mereka saling ingin membentuk kemerdekaannya sendiri. Fanatisme para pengikut pemimpin pergerakan juga semakin mempengaruhi kondisi terus kedalam keadaan yang semakin rumit dan menegangkan.

Fanatisme tersebut sesungguhnya juga terjadi di era demokrasi saat ini yang tak jarang membuat banyaknya perselisihan, hanya sekarang ini kita lebih beruntung sebab perselisihan tersebut hanya sebatas argumentasi dan statement bukan dengan saling todong senapan.

Editors Team
Daisy Floren

Populer Lainnya